Oleh: Fiqih Akhdiyatu Salam M.I.Kom
Di tengah derasnya arus informasi politik di media sosial, masyarakat Indonesia kerap menjadi sasaran empuk retorika politik yang terstruktur dan manipulatif. Kita semakin mudah digiring opini karena kebiasaan mengonsumsi informasi secara dangkal. Untuk menghadapi tantangan ini, praktisi ilmu komunikasi, Fiqih Akhdiyatu Salam, menekankan bahwa kunci utama pertahanan masyarakat adalah mengasah budaya membaca, berpikir kritis, dan kemampuan menulis yang sistematis.
Akar Masalah: Instan dan Malas Berpikir
Fiqih Akhdiyatu Salam, yang akrab disapa Ucil, menegaskan bahwa masalah mendasar yang membuat retorika politik mudah memengaruhi adalah rendahnya budaya membaca dan pola konsumsi informasi yang instan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan umum, tetapi juga di kalangan anak muda dan mahasiswa.
"Masalah utamanya bukan hanya kecerdasan politik, tapi juga pola konsumsi informasi yang instan dan dangkal," ujar Ucil. "Kita jadi terbiasa scroll media sosial tanpa berpikir kritis, sehingga otak kita 'malas' diajak berpikir mendalam."
Ia juga menyoroti peran algoritma media sosial yang secara otomatis memperkuat pandangan yang sudah ada (confirmation bias), sehingga masyarakat terjebak dalam ruang gema (echo chamber) dan sulit melihat sudut pandang lain. Situasi ini membuat politik persuasi dan bahkan manipulasi bekerja efektif.
Menulis Persuasif sebagai Senjata Kritis
Selain budaya membaca, Ucil berpendapat bahwa kemampuan menulis persuasif juga menjadi keterampilan penting untuk melawan manipulasi.
"Retorika politik dikemas sangat rapi oleh politikus berilmu. Jadi, kalau kita tidak bisa menulis dan mengkritisi secara sistematis, kita akan terus jadi konsumen pasif yang mudah ditipu," jelasnya. Kemampuan menulis, dalam konteks ini, adalah sarana untuk mengartikulasikan kritik dengan jelas, logis, dan meyakinkan.
Panduan Praktis Mengasah Literasi Politik
Dalam paparannya, Magister Corporate Communication dari Universitas Paramadina ini membagikan beberapa tips praktis yang dapat langsung diterapkan masyarakat untuk membangun benteng pertahanan digital:
Baca dari Berbagai Sumber: Lakukan konsumsi berita dan opini dari berbagai platform dan ideologi agar mendapatkan perspektif yang beragam dan menghindari bias informasi.
Terapkan Membaca Kritis: Selalu pertanyakan siapa pengirim pesan (sumber) dan apa tujuan di balik penyampaiannya (agenda setting/framing).
Aktif Berdiskusi dan Menulis: Berdiskusi secara sehat untuk memperluas wawasan. Selain itu, rajinlah menulis opini dan analisis untuk melatih kemampuan mengartikulasikan kritik secara terstruktur.
Batasi Konsumsi Pasif: Alokasikan waktu untuk konten edukasi dan dialog yang konstruktif, serta kurangi waktu untuk sekadar scrolling tanpa tujuan.
Ucil menutup dengan mengingatkan pentingnya memahami dasar-dasar ilmu komunikasi, seperti konsep framing, agenda setting, serta ethos-pathos-logos, yang merupakan teknik persuasi halus para politikus.
"Ketika kita mampu membaca, berpikir, dan menulis dengan baik, kita tidak hanya dilindungi dari manipulasi, tapi juga berperan aktif membangun demokrasi yang sehat," tutup Ucil, berharap masyarakat Indonesia semakin tangguh dan cerdas menghadapi dinamika politik.
Jakarta, 28 September 2025